Sejarah Hubungan Bilateral Tiongkok-Indonesia



Pada 13 April 1950, Republik Rakyat Tiongkok menggalang hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia.
Dari 18 April hingga 24 April 1955, Konferensi Asia-Afrika (KAA) atau Konferensi Bandung diselenggarakan di Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia. KAA Bandung dihadiri oleh Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai beserta delegasi. Dalam KAA Bandung, "Lima prinsip hidup berdampingan secara damai" yang dikemukakan pemerintah Tiongkok dan disponsori bersama dengan pemerintah India dan pemerintah Myanmar mendapat dukungan dari seluruh peserta. Pasca KAA Bandung Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai mengadakan kunjungan resmi di Indonesia.
Pada 30 September 1956, Presiden Indonesia Soekarno mengunjungi Tiongkok.
Pada 1 April 1961, Tiongkok dan Indonesia menandatangani perjanjian persahabatan dan persetujuan kerja sama kebudayaan bilateral.
Pada 30 Oktober 1967, kedua negara membekukan hubungan diplomatik.
Pada Juli 1985, Tiongkok dan Indonesia menandatangani " Memorandum Saling Pengertian ( MoU ) ", untuk membuka kembali perdagangan langsung kedua negara yang terputus.
Pada Juli 1990, Tiongkok dan Indonesia mengeluarkan komunike bersama tentang pemulihan hubungan diplomatik selama kunjungan Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas di Tiongkok. Kedua negara sepakat memulihkan secara resmi hubungan diplomatik mulai 8 Agustus 1990.
Pada Agustus 1990, Perdana Menteri Tiongkok Li Peng mengunjungi Indonesia.
Dari 14 November hingga 19 November 1990, Presiden Indonesia Suharto mengunjungi Tiongkok.
Pada Juni 1991, Presiden Tiongkok Yang Shangkun mengunjungi Indonesia.
Dari 20 Juli hingga 25 Juli 1993, Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Tiongkok Qiao Shi mengunjungi Indonesia.
Dari 16 November hingga 19 November 1994, Presiden Tiongkok Jiang Zemin mengunjungi Indonesia. Pemerintah kedua negara menandatangani " Persetujuan Tentang Promosi dan Perlindungan Investasi " dan " MoU Kerja Sama Iptek ".
Pada 13 Maret 1996, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas dalam sidang dengar pendapat DPR menyatakan, Indonesia akan terus mempertahankan kebijakan " Satu Tiongkok ", dimana penyatuan kembali adalah urusan dalam negeri Tiongkok dan Indonesia tidak akan melakukan intervensi dalam masalah tersebut.
Pada 20 Februari 1997, Wakil Ketua Komisi Militer Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, merangkap Anggota Dewan Negara sekaligus Menteri Pertahanan, Chi Haotian mengadakan kunjungan persahabatan resmi di Indonesia.
Dari 11 April hingga 13 April 1998, Menteri Luar Negeri Tiongkok Tang Jiaxuan mengadakan kunjungan kerja di Indonesia. Presidan Suharto dalam pertemuannya dengan Menlu Tang Jiaxuan menyatakan, Indonesia akan terus meningkatkan hubungan persahabatan dengan Tiongkok.
Pada 4 Mei 1999, Presiden Indonesia Baharuddin Jusuf Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang menghapus sejumlah peraturan yang mendiskriminasi Etnis Tionghoa Indonesia. Inpres tersebut merupakan tambahan terhadap Inpres Juli 1966 dan September 1998. Inpres tersebut menuntut pejabat pemerintah meninjau kembali semua peraturan yang membatasi kegiatan belajar Bahasa Tionghoa.
Dari 8 Mei hingga 11 Mei 2000, Menteri Luar Negeri Indonesia Alwi Shhab mengunjungi Tiongkok. Kedua negara menandatangani "Pernyataan Bersama RRT dan Indonesia Tentang Arah Kerja Sama Bilateral Masa Depan" dan " MoU Pemerintah RRT dan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pembentukan Komisi Gabungan Kerja Sama Bilateral ".
Pada 19 Oktober 2001, Presiden Tiongkok Jiang Zemin bertemu dengan Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri dalam acara pertemuan informal pemimpin ke-9 Organisasi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik di Tiongkok.
Dari 7 November hingga 11 November 2001, Perdana Menterei Tiongkok Zhu Rongji mengadakan kunjungan resmi di Indonesia. Kedua pihak menandatangani "Persetujuan Kerja Sama Kebudayaan", "Persetujuan Pungutan Pajak Ganda dan Penghindaran Pajak ", "MoU Kerja Sama Pertanian ", " MoU Kerja Sama Pariwisata" dan "MoU Pertukaran dan Kerja Sama Perbankan" serta "MoU Kerja Sama Ekonomi dan Teknologi ".
Pada 17 Februari 2002, Presiden Indonesia Megawati Soekarnopoutri dalam pertemuan Perayaan Tahun Baru Imlek " Tahun Kuda " di Jakarta mengumumkan, pemerintah Indonesia sudah memutuskan menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai liburan nasional. Keputusan tersebut berarti pemerintah Indonesia secara resmi menghapus peraturan yang membatasi masyarakat Tionghoa merayakan hari raya tradisionalnya.
Pada 8 Oktober 2003, Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao menghadiri KTT Tiongkok-ASEAN ke-7 ( 10+1 ) yang diadakan di Bali. Wen Jiabao menyatakan, Tiongkok resmi bergabung dalam "Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama Asia Tenggara". Perdana Menteri Wen Jiabao bersama para pemimpin anggota ASEAN menandatangani "Deklarasi Bersama RRT dan Pemimpin ASEAN", dan mengumumkan pembentukan "Kemitraan strategis berorientasi perdamaian dan kemakmuran ".
Pada 4 September 2004, Menteri Perdagangan dan Perindustrian Indonesia Rini MS Soewandi usai pertemuan menteri ekonomi dan perdagangan ASEAN dengan Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan yang diadakan di Jakarta, mengumumkan 10 Negara ASEAN resmi mengakui status ekonomi pasar penuh Tiongkok.
Pada 27 Desember 2004, Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao mengirim kawat ucapan belasungkawa kepada Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Atas nama pemerintah Tiongkok, PM Wen Jiabao menyampaikan rasa simpati kepada Indonesia yang mengalami gempa bumi hebat dan tsunami. Tiongkok memutuskan menyediakan bantuan darurat kepada Indonesia dan negara-negara yang mengalami bencana gempa dan tsunami.
Pada 13 Februari 2005, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri perayaan Tahun Baru Imlek yang diadakan Dewan Senior Agama Konfusius Indonesia dan menyatakan ucapan selamat hari raya kepada masyarakat Tionghoa. Presiden SBY menjamin sepenuhnya peranan dan kedudukan masyarakat Tionghoa dalam keragaman budaya Indonesia.
Pada 29 Maret 2005 subuh, terjadi gempa bumi hebat di perairan sekitar Pulau Sumatra dan menelan sejumlah besar korban tewas dan luka-luka. Pemerintah Tiongkok memutuskan menyediakan bantuan uang tunai sebesar 500 ribu dolar AS kepada pemerintah Indonesia sebagai dana pertolongan bencana. Palang Merah Tiongkok juga memutuskan menyediakan bantuan dana darurat kepada Palang Merah Indonesia sejumlah 300 ribu dolar AS.
Pada April 2005, Kepala Negara Tiongkok dan Indonesia menandatangani deklarasi bersama kemitraan strategis kedua negara.
Pada tahun 2006, Tiongkok dan Indonesia menghidupkan mekanisme dialog tingkat wakil perdana menteri.
Pada Oktober 2008, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri KTT Asia-Eropa Ke-7 di Beijing.
Selama tahun 2008, nilai perdagangan antara Tiongkok dan Indonesia mencapai 31,5 miliar dolar AS, naik 26% dibandingkan periode sebelumnya. Nilai perdagangan ini telah merealisasikan target perdagangan 2010 senilai 30 miliar dolar AS yang ditetapkan pemimpin kedua negara.
Duta Besar China, Mdm. Zhang Qi yue memberikan piagam penghargaan kepada beberapa karyawan yang memiliki prestasi kerja di kantor Kedutaan Besar China, Jakarta. Acara ini diselenggarakan bersama seluruh keluarga besar karyawan, staf Kedutaan berikut pejabat tinggi Kedutaan Besar China pada acara buka puasa bersama di aula pertemuan Kedubes China. Acara buka puasa seperti ini selalu diselenggarakan setiap tahun pada saat Ramadhan tiba.